Rabu, 09 November 2016

Accounting and Finance Degree Comparisons



Accounting and Finance Degree Comparisons
When looking for accounting and finance degree comparisons available on the Internet and in print, it is important to remember that the terms can mean different things to different schools. Some schools may combine the two programs for space purposes, while they may be distinctly separate at another institution. While there are some general guidelines that many schools believe separate the accounting major and degree program from the finance major and degree program, individual schools may vary. 

Accounting and Finance Degree Comparisons
Past Versus Present
One of the easiest ways to distinguish between an accounting and finance degree is to consider that accounting deals more with structure of a business, while finance deals more with structuring money. While accounting focuses on managing and analyzing financial data, finance focuses on managing actual money. The primary distinction is made between "data" and "money." Accounting also tends to look back to see what caused something. For example, an accountant filing your taxes would need to review your past year's purchases and information, which is in contrast to the way that finance typically works. Financiers would be looking to the present and future. For example, they would be looking at how to invest money to see a future return. The distinction can be a bit abstract, but it is still one of the more common ways professionals distinguish between the two fields.
Course Load
In schools where the two programs are distinct, the course load differs. Common courses in accounting degree programs include cost accounting, auditing, and taxation. In finance degree programs, common courses tend to focus more on economy-based areas like macroeconomics, microeconomics, and the finance market.
Prepared Versus Preparing
Similar to the past versus present reference, another way the two fields differ is in what they achieve. In accounting, much of the focus is on preparing information and data based on the past for the future. It is, in a sense, a historical roadmap for the future. In finance, there is also a focus on preparing, but it is preparing for a future event.
How Are the Two Similar?
While many accounting and finance degree comparisons focus on how the two majors differ, there are also a few ways in which they overlap. They include:
  • Both fields value the importance of data in making important decisions. For example, an accounting firm will frequently provide data that a financial analyst will use to make a future decision. The two fields also look at data in a similar manner.
  • Both fields focus on the same questions. For example, with both having money as their bottom line, they are both concerned about how much something will cost or has cost in the past.
  • Both fields look to increase the amount of revenue a source holds. For example, a financial analyst may look to help a client achieve the investment with the largest return. At the same time, an accountant may work with a company to locate tax breaks and initiatives to help reduce taxes and earn a higher return.
  • In the modern-day finance world, especially for entry-level positions, many employers will request a degree in either major.
A Final Thought
There are two important elements to keep in mind if you're thinking about a career path in finance or accounting. The first is how your institution or the school you would like to apply to handles the two fields as you are looking to choose a major. The second area of concern is to figure out what role you would like to adopt in a career past college. Often, that position will dictate whether an accounting degree or a finance degree is a better tool for your future.

Kamis, 30 Juni 2016

Tentang persaingan tidak sehat dan contoh kasusnya

Tentang persaingan tidak sehat dan contoh kasusnya


1. Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

            Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002).
            Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan persaingan curang bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2. Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
3. Perusahaan, baik milik pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut.
4. Perbuatan persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan pelaku.
            Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
            Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
            Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

2. Asas dan Tujuan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
            Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

3 Kegiatan yang Dilarang dalam Monopoli
            Dalam UU No.5 Tahun 1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli

Adalah penguasaan atas produksi dan pemasaran barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan beberapa kriteria sebagai berikut :
a.       Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana maksud dalam ayat (a) apabila: barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;
c.       Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan atau jasa yang sama; atau,
d.      Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % (lima puluh persen) pasangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.

2. Monopsoni

Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopsoni, yaitu sebagai berikut.;
a.       Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Penguasaan pasar

Di dalam UU no.5 tahun1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.       Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b.      Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c.       Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d.      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4. Persengkongkolan

Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
a.       Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b.      Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c.       Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.

5. Posisi Dominan

Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
a. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.

6. Jabatan rangkap

Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

7. Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).

8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.



4. Perjanjian yang Dilarang dalam Monopoli dan Persaingan Usaha

            Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut, ;



1. Oligopoli

Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
a.       Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b.      Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.



3. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat:
a.       Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
b.      Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

5. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.

6. Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.

7. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya:.
a.   Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
b.  Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.






8. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok,
b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.



5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
Pasal 50
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
e.       Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
f.       Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
g.      Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h.      Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
i.        Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoliatau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker.
2.Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan.
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam.
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan.

7. Sanksi dalam Monopoli dan Persaingan Usaha

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1. Pencabutan izin usaha; atau
2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Antimonopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.



Contoh kasus :
Chevron Divonis Denda Rp 2,5 Milyard

JAKARTA. Raksasa perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline front end enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp 2,5 miliar.

“Menyatakan bahwa terlapor I (Chevron) terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Ketua Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi, Kamis (16/5).

Dalam Pasal 19 Huruf d disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku uasaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parsons Indonesia (terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D UU No. 5 Tahun 1999. Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yakni PT Wood Group Indonesia. Sementara itu, Chevron telah menetapkan PT Worley Parsons (terlapor II) selaku pemenang tender.

Terkait putusan ini, Stefanus Haryanto, Kuasa Hukum Chevron, enggan untuk memberikan komentarnya. “No comment ya,” katanya. Hal serupa juga disampaikan oleh Mochmad Fachri selaku kuasa hukum Worley Parsons.

Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap Resume Monitoring KPPU RI mengenai adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company, yang dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai Terlapor I dan PT Worley Parsons Indonesia sebagai Terlapor II.

Objek perkara ini adalah Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value sebesar 4.690.058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis dan tahap komersial.

Sumber : 

http://litsa-lutfhiani.blogspot.co.id/2016/06/contoh-kasus-persaingan-pasar-yang.html

http://nasional.kontan.co.id/news/chevron-divonis-denda-rp-25-miliar

http://guzbragazul.blogspot.co.id/2014/12/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html


Benarkah ada kartel daging yang bermain disini?

Benarkah ada kartel daging yang bermain disini?

Nah sebelum saya menjawab pertanyaan diatas , saya akan memberitahukan apa itu katrel ? Kartel adalah kerja sama antara beberapa badan usaha yang memproduksi dan memasarkan barang yang sejenis. Adapun maksud dan tujuan kartel adalah untuk mengurangi persaingan atau meniadakan persaingan. Atau Kartel adalah menahan pasokan daging sehingga mengakibatkan kelangkaan pasokan di pasaran yang memicu kenaikan harga. Akhirnya, pemerintah terpaksa membuka keran impor yang menguntungkan importir daging.
Jadi, menurut informasi yang saya dapatkan sepertinya ada kartel yang bermain dimahalnya harga daging, berikut ini informasi yang saya dapatkan tentang adanya kartel di mahalnya harga daging.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang menyelidiki kemungkinan adanya keterlibatan kartel dalam perdagangan daging sapi yang menyebabkan penurunan pasokan dan kecenderungan kenaikan harga. KPPU menduga telah terjadi perilaku antipersaingan yang dilakukan pelaku usaha secara berkelompok dan menjurus ke kartel.
Berdasarkan analisis terhadap kebijakan tataniaga, menurut KPPU kejadian itu memperkuat fakta bahwa konsep tataniaga daging telah meningkatkan kekuatan pasar pelaku usaha yang berada di jejaring distribusi.

Menurut KPPU, pelaku usaha di jejaring distribusi tahu betul bahwa pasokan hanya ada pada mereka sehingga mereka akan bisa mendikte pasar atas nama mekanisme pasar. Dan kondisi yang demikian berpotensi besar memunculkan kartel.

Untuk mengatasi masalah ini, KPPU menyatakan, pemerintah harus konsisten menerapkan tataniaga secara utuh. Apabila sisi hulu diintervensi dengan pembatasan pasokan, maka di sisi hilir pemerintah harus melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar.

SUMBER :
https://m.tempo.co/read/news/2015/08/12/090691377/kartel-daging-sapi-siapa-dalangnya
https://santirahma.wordpress.com/2016/06/21/benarkah-ada-kartel-yang-bermain-dimahalnya-harga-daging/
http://harianhaluan.com/news/detail/52340/daging-sapi-mahal-karena-ulah-kartel
http://accounting-media.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-kartel-dan-jenisnya.html
http://miatriandinimia.blogspot.co.id/2016/06/benarkah-ada-kartel-dalam-perdagangan.html

Minggu, 08 Mei 2016

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)


    Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
    Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
    Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.

a. Hak Cipta
    Hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri.
    UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap.
    Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta.

b. Hak Paten
    Hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta di bidang teknologi. Hak ini memiliki jangka waktu (usia sekitar 20 tahun sejak dikeluarkan), setelah itu habis masa berlaku patennya.

c. Hak Merk
    Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, hak merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap produk/jasa sejenis yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat memilih produk.jasa merek apa yang akan digunakan sesuai dengan kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki beberapa istilah, antara lain :

· Merek Dagang
    Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

· Merek Jasa 
    Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

· Merek Kolektif
    Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
    Selain itu terdapat pula hak atas merek, yaitu hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Dengan terdaftarnya suatu merek, maka sudah dipatenkan bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak dapat digunakan dan harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1 tersebut, maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui Badan Hukum atas penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin, gugatan dapat berupa ganti rugi dan penghentian pemakaian nama tersebut.
    Selain itu pelanggaran juga dapat berujung pada pidana yang tertuang pada bab V pasal 12, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama secara keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,-
    Oleh karena itu, ada baiknya jika merek suatu barang/jasa untuk di hak patenkan sehingga pemilik ide atau pemikiran inovasi mengenai suatu hasil penentuan dan kreatifitas dalam pemberian nama merek suatu produk/jasa untuk dihargai dengan semestinya dengan memberikan hak merek kepada pemilik baik individu maupun kelompok organisasi (perusahaan/industri) agar dapat tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomiannya dengan tanpa ada rasa was-was terhadap pencurian nama merek dagang/jasa tersebut.

Undang-undang yang mengatur mengenai hak merek antara lain :
  • UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
  • UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
  • UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
d. Hak desain industri
    Perlindungan terhadap kreasi dua atau tiga dimensi yang memiliki nilai estetis untuk suatu rancangan dan spesifikasi suatu proses industri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain

e. Hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit)
    Perlindungan hak atas rancangan tata letak di dalam sirkuit terpadu, yang merupakan komponen elektronik yang diminiaturisasi.

f. Rahasia dagang
    Merupakan rahasia yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau individu dalam proses produksi
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia

g. Varietas tanaman
    Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman :
    Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah perlindungan khusus yang diberikan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor PVT, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (Pasal 1 Ayat 1)
    Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu. (Pasal 1 Ayat 2)
    Varietas Tanaman adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis yang sama atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. (Pasal 1 Ayat 3)

Kamis, 21 April 2016

Bedah Kasus Audit Umum PT. KAI Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi)

Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik. Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama. Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya.

PENDAHULUAN
            Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif.
Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan

Jumat, 08 April 2016

Contoh Surat Perjanjian, Macam-macam Perjanjian dan Perikatan (Aspek Hukum dalam Ekonomi)

SURAT PERJANJIAN
 PROYEK DESAIN INTERIOR
Pada hari ini,                                                  
Kami yang bertanda tangan di bawah ini,
1.         Nama              : Hadi Iswanto
            KTP No.           : 3671132805660004
            Alamat            : Taman Cipulir A3 No. 11
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, yang selanjutnya disebut Pihak Pertama
2.         Nama              : Maria Florencia
            KTP No.           : 3671015210940003
            Jabatan           : Designer Interior
            Alamat            : Cluster Perancis FB 2/7 , Modernland , Tangerang  15117
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Spark Lite Interior, yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian kerja yang diatur dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
PASAL I
MASA BERLAKU PERJANJIAN
Kedua belah pihak telah sepakat bahwa masa perjanjian ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan kedua belah pihak menyelesaikan kewajiban masing-masing.
PASAL II
JENIS PEKERJAAN

Senin, 14 Maret 2016

Pengertian, Subjek dan Objek Hukum dalam Ekonomi

PENGERTIAN HUKUM DALAM EKONOMI
Ada beberapa pengertian tentang hukum  menurut beberapa ahli, seperti :
1.     Van Kan
Menurut Van Kan Definisi Hukum ialah keseluruhan peratersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat dan tujuan hukum adalah untuke ketertiban dan perdamaian.
2.     Utrecht
Menurut Utrecht definisi hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
3.     Wiryono Kusumo
Menurut Wiyono Kusumo definisi hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang terulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib didalam masyarakat yang pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur-unsur, yakni :
  • Peraturan mengenai tingkah laku manusia dala pergaulan masyarakat.
  • Peraturan itu bersikap mengikat dan memaksa,
  • Peraturan itu diadakan oleh badan—badan resmi, dan
  • Pelanggaran atas peraturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas.