Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik
di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa
penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan
seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik.
Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai.
Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang
efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat
kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama. Salah satu
contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia
(PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan
dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas
didalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu
menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya.
PENDAHULUAN
Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif.
Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif.
Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik,
mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah
hati, belum dipahami dan
diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management
sebagai pengambil keputusan stratejik. Terlebih lagi pemahaman pemegang saham
atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan
BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran
yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada
situasi yang sama.
Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta
Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola
yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap
organ pengawas didalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji
dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan publik, PT. KAI
memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya dan
merupakan pembelajaran yang menarik bagi perusahaan lainnya terutama mengenai
bagaimana mambangun pengawasan yang efektif. Kasus ini juga dapat menjadi
pembelajaran bagi departemen teknis maupun Kementerian BUMN sebagai wakil
pemegang saham untuk menerapkan public governance.
PEMBAHASAN KASUS PT. KERETA API INDONESIA
Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
PEMBAHASAN KASUS PT. KERETA API INDONESIA
Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat atas 4 (empat) hal, yaitu :
1. Masalah piutang PPN.
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai
Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada
tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh
manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa
pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak
menagih PPN atas jasa tersebut, PT. KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31
Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan
tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan
sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
3. Masalah persediaan dalam perjalanan.
3. Masalah persediaan dalam perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan persediaan
suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja
lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31
Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
BPYBDS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN
sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos
tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus
direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP)? Lebih jauh lagi apakah auditor eksternal telah berkomunikasi dengan Komite Audit, dan apakah komunikasi tersebut efektif ?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya Komite Audit dalam proses good corporate governance di perusahaan, baik BUMN maupun swasta.
Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :
1. Advising. Memberi
nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya Dewan
Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.
2. Protecting. Melindungi
perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya : memberikan
argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan
perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.
3. Supervising. Mengawasi
pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi
stakeholders.
Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.
Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :
1. Mereview audit plan
2. Mendiskusikan
penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus sudah
ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness
proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan
Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).
3. Mereview
transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian
Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.
Agar
pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat
membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :
1. Mereview sistem
internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting)
bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.
2. Komunikasi antara
Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite Audit membantu
Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena tidak selalu
100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar
belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah
mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan
Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan advise kepada Direksi.
Kasus
PT. KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan
lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan
Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social
and political costnya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang
berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada
akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1. Auditor Internal tidak
berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal.
2. Komite Audit tidak
ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses
audit.
3. Manajemen (termasuk
auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga
tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan
manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite
Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
Beberapa
aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di
kemudian hari adalah :
· Adanya transaksi
antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum
dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO :
Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges)
· Transaksi masa
sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan)
· Perubahan peraturan
pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
· Penyelesaian Past
Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
· RUU Perkeretaapian
dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan keikutsertaan
swasta
SOLUSI DAN REKOMENDASI
Dengan pembahasan kasus audit umum PT.
Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus
tersebut, diantaranya adalah :
Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.
Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Ketiga, sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006.
Kelima, terkait dengan
prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan
bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan
dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi
yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap
dilakukan.
Keenam, beberapa hal
teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus
mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure
Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta
komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan
sistem akuntansi.
Khusus untuk PT. Kereta Api, beberapa
masukan yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat
ini adalah :
1. Komite Audit tidak
memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya
merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
2. Harus ada upaya untuk
membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak
boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun
sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau
dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari
Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api
sedang diproses disana.
3. Komite Audit tidak
berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan
Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada
Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun
Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan
pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan
perusahaan.
4. Komite Audit dan Dewan
Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam
perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian
tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.
5. Komite Audit berperan
aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh tahapan proses
auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan
hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada
Direksi.
6. Manajemen menyusun
laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
7. Komite Audit
menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam pengawasan.
Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang
berkomunikasi intens dengan Komite Audit.
Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban (liability).
Terlepas dari kasus audit umum PT.
Kereta Api Indonesia, concern yang mengemuka terkait dengan Auditor Eksternal
adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang dilakukan oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Kantor Akuntan Publik yang
ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan Publik yang sebenarnya tidak
terdaftar sebagai akuntan publik.
Secara prinsip Komite Audit sangat
tergantung pada akuntan publik. Terkait dengan praktek penipuan tersebut, untuk
meningkatkan citra profesi IAI Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan
Review Mutu untuk mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif
pengguna jasa akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan
suatu tindakan penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar