7. PEREKONOMIAN INDONESIA SETIAP PERIODE PEMERINTAHAN
a. Pemerintahan Orde Lama
Pada masa awal kemerdekaan
perekonomian Indonesia amatlah buruk antara lain disebabkan oleh inflasi yang
sangat tinggi karena pada saat itu indonesia menggunakan 4 mata uang, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied
Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang
yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat hargapenyebab lain adalah adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negri RI,kosongnyakas negara akibat penjajahan,eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Dumairy (1996)
menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia:
a)
Periode 1945 – 1950.
b)
Periode demokrasi parlementer/liberal
(1950 – 1959)
Banyak partai politik
Sektor formal: pertambangan, pertanian, distribusi, bank, dan
transportasi yang padat modal dan dikuasai oleh asing serta berorientasi ekspor
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDB
8 kali perubahan kabinet:
ü
Kabinet Hatta dengan kebijakan
Reformasi moneter via devaluasi mata uang local (Gulden) dan pemotongan uang
sebesar 50% atas uang kertas yang beredar yang dikeluarkan oleh De Javasche
Bank dengan nilai nominal > 2,50 Gulden Indonesia.
ü
Kabinet Natsir dengan kebijakan
perumusan perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut dengan Rencana Urgensi
Perekonomian (RUP)
ü
Kabinet Sukiman dengan
kebijakan nasionalisasi oleh De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dan
penghapusan system kurs berganda
ü
Kabinet Wilopo dengan kebijakan
anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, merasionalisasi angkatan
bersenjata dengan modernisasi dan pengurangan jumlah personil, serta pengiritan
pengeluaran pemerintah
ü
Kabinet Ali I dengan kebijakan
pembatasan impor dan kebijakan uang ketat
ü
Kabinet Burhanudin dengan
kebijakan liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan jumlah uang
yang beredar, dan penyempurnaan program benteng (bagian dari program RUP yakni
program diskriminasi rasial untuk mengurangi dominasi ekonomi), memperkenankan investasi asing masuk ke
Indonesia, membantu pengusaha pribumi, serta menghapus persetujuan meja bundar
(menghilangkan dominasi belanda perekonomian nasional.
ü
Kabinet Ali II dengan kebijakan
rencana pembangunan lima tahun 1956 - 1960
ü
Kebinet Djuanda dengan
kebijakan stabilitas politik dan nasionalisasi perusahaan belanda.
c)
Periode demokrasi terpimpin
(1959 – 1965)
Dilakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan belanda.
Lebih cenderung
kepada pemikiran sosialis komunis
Politik tidak
stabil sampai pada puncaknya pada September 1965
b. Permerintahan Orde Baru
Sejak Maret
1966.
Pemerintah
mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan
ekonomi dan sosial.
Pemerintah
meninggalkan idiologi komunis dan menjalin hubungan dengan Negara barat dan
menjadi anggota PBB, IMF, dan Bank Dunia.
Setelah
jatuhnya masa pemerintahan presiden Soekarno dan digantikan oleh presiden
Soeharto,banyak rencana untuk membangun Indonesia menjadi negara yang lebih
maja dan mampu bersaing dengan negara lain. Pada masa ini perbaikan di bidang
ekonomi dan politik adalah prioritas utama. Program pemerintahan saat itu
berorientasi pada usaha mengontrol laju inflasai yang menjadi warisan dari
pemerintahan sebelumnya,penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan
pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966
tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah
melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata
pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem
etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran
dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari
salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian
secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu,
pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan
perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan
pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan
ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur
pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan,
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda,
penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan
pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan
yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya,
pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka
kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi
pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang
meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk
menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan
menikah.
Pada awal
pemerintahannya usaha – usaha yang dilakukan sangat berhasil untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.Namun dibalik
itu dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan
pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta
penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
Kondisi
perekonomian Indonesia:
(a)
ketidakmampuan membayar hutang LN US $32 Milyar
(b) Penerimaan
ekspor hanya setengah dari pengeluaran untuk impor
(c) Pengendalian
anggaran belanja dan pemungutan pajak yang tidak berdaya
(d) Inflasi 30 –
50 persen per bulan
(e) Kondisi
prasarana perekonomian yang bururk
(f) Kapasitas
produktif sektor industri dan ekspor menurun
Prioritas
kebijakan ekonomi:
(a) Memerangi
hiperinflasi
(b) Mencukupkan
persediaan pangan (beras)
(c)
merehabilitasi prasaran perekonomian
(d) Peningkatan
ekspor
(e) Penyediaan
lapangan kerja
(f) Mengundang
investor asing
Program ekonomi orde baru mencakup:
(a)Jangka pendek
· Juli – Desember 1966 untuk program
pemulihan
· Januari – Juni 1967 untuk tahap
rehabilitasi
· Juli – Desember 1967 untuk tahap
konsolidasi
· Januari – Juni 1968 untuk tahap
stabilisasi
(b)Jangka panjang yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)
mulai April tahun 1969.
Dalam rangka mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah:
(a) Memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy)
(b) Pembentukan IGGI
(c) Melakukan reformasi terhadap sistem perbankan
· UU tahun 1967 tentang Perbankan
· UU tahun 1968 tentang Bank Sentral
· Uu tahun 1968 tentang Bank Asing
(d) Menjadi anggota kembali IMF
(e) Pemberian peran yang lebih besar kepada bank bank dan lembaga keuangan
lain sebagai ’”agen pembangunan”. Dengan memobilisasi tabungan masyarakat untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan memainkan peranan penting untuk pembangunan
pasar uang dan pasar modal.
Mulai 1 April 1969, Program
pembangunan jangka panjang terdiri dari tahapan-tahapan REPELITA dengan
sasaran:
(a) stabilitas perekonomian
(b) pertumbuhan ekonomi
(c) pemerataan hasil pembangunan
REPELITA I è 1969 – 1974 dengan sasaran: (a)
stabilitas perekonomian; (b) pertumbuhan ekonomi; dan (c) pemerataan hasil
pembangunan
REPELITA II è 1974 – 1979 dengan sasaran: (a)
pertumbuhan ekonomi; (b) pemerataan hasil pembangunan; dan (c) stabilitas
perekonomian
REPELITA III è 1979 – 1984, REPELITA IV è 1984 – 1989, REPELITA V è 1989 – 1994, REPELITA VI è 1994 – 1999 dengan sasaran: (a) pemerataan hasil
pembangunan; (b) pertumbuhan ekonomi dan (c) stabilitas perekonomian
Prestasi Ekonomi dan Kondisi Ekonomi Per REPELITA.
REPELITA I dan II
Prestasi:
·
Pertumbuhan
ekonomi 6 persen per tahun
·
Investasi
meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10 tahun
·
Kontribusi
tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen
·
Sumber
penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari total
penerimaan
·
Inflasi
rata-rata 17 persen
·
Porsi
pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran
Kondisi:
·
Boom
minyak tahun 1973 dan 1978
Kibijakan:
·
Devaluasi
rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$
REPELITA III
Prestasi:
·
Ekspor
neto migas turun 38 persen
·
Ekspor
nonmigas turun 30 persen
·
Impor
nonmigas meningkat
·
Neraca berjalan (current
account) dari suprlus US $2.7 milyar menjadi difisit US $6.7 milyar
·
PDB tumbuh hanya 2,24 persen
·
Laju inflasi rata-rata 9 persen
·
Porsi
pelunasan hutang 17,3 persen dari pengeluaran
Kondisi:
·
Boom
minyak tahun 1982/1983
·
Kemelut
minyak dan resesi dinegara industri menyebabkan OPEC memotong harga dan
produksi minyak
·
Devaluasi
28 persen tahun 1983
Kibijakan:
·
Penghematan
anggaran belanja
·
Penambahan
pinjaman luar negeri
·
Penggalakan
ekspor nonmigas
·
Pembatasan
impor barang mewah
·
Pengurangan
perjalanan ke luar negeri
·
Penggalakan
penggunaan barang dalam negeri
·
Penjadualan
ulang dan pembatalan 50 persen proyek sektor publik
·
Gaji
pegawai negeri tidak dinaikkan
·
Penaikan
harga bahan bakar minyak tahun 1984 dengan mengurangi subsidi
·
Pengurangan
subsidi atas pupuk, pesticida, dan
pangan
·
Pembaharuan
UU perpajakan tahun 1984
·
Deregulasi
parcial sistem perbankan dengan menyerahkan penentuan tingkat bunga kepada
masing-masing bank peniadaan sistem pagu kredit
REPELITA IV
Prestasi:
·
Pertumbuhan
ekonomi rata-rata 5,32 persen
·
Beban
hutang luar negeri menjadi membesar
·
Penghematan
anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran
·
Perkembangan
pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa
·
Laju inflasi rata-rata 9 persen
·
Porsi
pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran
Kondisi:
·
Harga
minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
·
Deregulasi
dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan pemerintah untuk memberikan
kesempatan pihak swasta dan investor asing dalam pembangunan
·
Devaluasi
untuk meningkatkan ekspor non migas
REPELITA V
Prestasi:
·
Pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6,7 persen
·
Ekspor
komoditas non migas meningkat
·
Porsi
pelunasan hutang 44,6 persen dari pengeluaran
Kondisi:
·
Harga
minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
·
Deregulasi
dan debirokratisasi terus dilakukan untuk menekan ekonomi biaya tinggi dan
meningkatkan efisiensi nasional
REPELITA VI
Kibijakan:
·
Pemberian
paket-paket deregulasi dalam bentuk penyusunan dan perbaikan undang-undang
yakni UU No. 25 tahun 1990 tentang koperasi, UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, dan UU No. 9-12 tentang perpajakan
Prinsip Anggaran Berimbang Dinamis.
Berimbang yakni pengeluaran rutin dan pembangunan selalu sama dengan
seluruh penerimaan negara
Dinamis yakni jika penerimaan > pengeluaran, maka pengeluaran dapat
ditingkatkan. Jika penerimaan < pengeluaran, maka harus dilakukan
penyesuaian pengeluaran.
Era Pembangunan Jangka Panjang II dan Globalisasi dalam kurun waktu 1994 – 2019.
Era globalisasi tahun 2020
Berdasarkan putaran Uruguay, segala bentuk proteksi perdagangan baik barang
maupun jasa harus dihapuskan
Target REPELITA VI tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun:
·
Pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan 6,2 persen
·
Sektor
pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,5 persen
·
Sektor
industri 9 persen
·
Sektor
manufaktur diluar migas 10 persen
·
Sektor
jasa 6,5 persen
·
Inflasi
rata-rata 5 persen
·
Ekspor
nonmigas 16,5 persen
·
Ekspor
manufaktur 17,5 persen
·
Debt
Service Ratio 20 persen
·
PDB
Rp 2,150 trilliun
·
Nilai
Investasi Rp 660,1 trilliun atau 30,7 %
dari PDB
·
Dana
dalam negeri : (a)
Pemerintah (25,5 %) Rp
169,4 trilliun
(b) Swasta (69 %) Rp 454,1 trilliun
·
Dana
luar negeri (5,5 %) Rp
36,6 trilliun
Era PJPT II, BAPPENAS telah mensimulasikan 2 skenario terhadap pertumbuhan
ekonomi;
(a) Skenario pertama (Optimis) menyatakan REPELITA VI sampai X, pertumbuhan
ekonomi rata-rata mencapai 7,9 persen per tahun, penekanan pertumbuhan penduduk
dari 1,6 % akhir REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir REPELITA X, pengangguran
REPELITA VI 2,2 % dan akhir REPELITA X 0,5 %, dan akhir REPELITA X pendapatan
perkapita Indonesia US $3,000.
(b) Skenario kedua (Pesimis) menyatakan REPELITA VI sampai X, pertumbuhan
ekonomi rata-rata mencapai 6,8 persen per tahun, penekanan pertumbuhan penduduk
dari 1,6 % akhir REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir REPELITA X, pengangguran
REPELITA VI 2,6 % dan akhir REPELITA X 4 %, dan akhir REPELITA X pendapatan
perkapita Indonesia US $2,330
Kondisi utama
yang harus dipenuhi untuk pembangunan ekonomi yang baik:
a)
Kemauan politik yang kuat
b)
Stabilitas ekonomi dan politik
c)
SDM yang lebih baik
d)
Sistem politik dan ekonomi yang
terbuka yang beroorientasi ke barat
e)
Kondisi ekonomi dan politik
dunia yang lebih baik
c. Pemerintahan Transisi (Habibie)
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam
bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati
a)
Tanggal 14 dan 15 Mei 1997,
kurs bath terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari
keputusan jual dari para investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi
Thailand dalam jk pdk.
Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral
singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral
Thailand mengumumkan kurs bath diserahkan pada mekanisme pasar.
2 Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%
b)
Bulan Juli 1997, krisis melanda
Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak
mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan menembus
angka Rp 11.000/US$.
Langkah konkrit
untuk mengatasi krisis:
a)
Penundaan proyek Rp 39 trilyun
untuk mengimbangi keterbatasan anggaran Negara
b)
BI melakukan intervensi ke
bursa valas
c)
Meminta bantuan IMF dengan
memperoleh paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
d)
Mencabut ijin usaha 16 bank swasta
yang tidak sehat
Januari 1998
pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang
mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:
a)
Kebijakan ekonomi makro (fiscal
dan moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan
pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan
proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua
fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap
bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
b)
Restrukturisasi sektor keuangan
c)
Reformasi struktural
Bantuan gagal
diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan dengan
IMF yang telah ditandatangani.
Indonesia tidak
mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru
dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai
Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan
modifikasi 50 butir kesepakatan.
Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:
a)
Program stabilisasi perbankan
untuk stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
b)
Restrukturisasi perbankan untuk
penyehatan system perbankan nasional
c)
Reformasi structural
d)
Penyelesaian utang luar negeri
dari pihak swasta
e)
Bantuan untuk masyarakat
ekonomi lemah.
d. Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid)
Mulai
pertengahan tahun 1999.
Target:
a)
Memulihkan perekonomian
nasional sesuai dengan harapan masyarakat dan investor
b)
Menuntaskan masalah KKN
c)
Menegakkan supremasi hukum
d)
Penegakkan hak asasi manusia
e)
Pengurangan peranan ABRI dalam
politik
f)
Memperkuat NKRI (Penyelesaian
disintegrasi bangsa)
Kondisi:
a)
Pada tahun 1999 pertumbuhan
ekonomi positif (mendekati 0)
b)
Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi
5%
c)
Kondisi moneter stabil (
inflasi dan suku bunga rendah)
d)
Tahun 2001, pelaku bisnis dan
masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan
presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
e)
Bulan maret 2000, cadangan
devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
f)
Hubungan dengan IMF menjadi
tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun
1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan
untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
g)
Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi
cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah
melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.
SOAL PG
1. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi, bertujuan melindungi usaha pribumi dengan memberikan pinjaman kepada 700 pengusaha pribumi adalah kebijakan..
a. Gunting Syafrudin
b. Plan Kasimo
c. Gerakan Benteng*
d. Sistem Ali-Baba